Surga Dan Neraka Jalur Sungai Purba Ujung Genting

Rendi Widodo
12 min readFeb 20, 2024
Pantai Pasir Putih Ujung Genting

Kelompok bermotor notorious yang sejak era Pelita 4 sudah mengendalikan segala hal ilegal di Jakarta Selatan, Two Wheels Tribe, memiliki budaya tahunan riding jarak panjang yang sering disebut sebagai Let’s Fak The Road (LFTR). Selalu diadakan selepas Idulfitri, budaya riding ini agak berbeda dengan riding-riding umumnya.

Selain jarak yang lebih jauh dari riding biasa, LFTR ini juga ikonik dengan aturan mainnya yang selalu dilakukan oleh 4 orang. Walaupun dalam perencanaannya banyak anggota yang berminat ikut, namun secara alami angka sial (4) selalu menjadi jumlah genap peserta.

Muatannya sebagai perjalanan panjang, tentu berbagai kemungkinan konflik dan ketegangan sesama anggota sering terjadi. Mulai dari cekcok memilih jalur, berebut sundal, hingga debat merem (ngorok) di penginapan menjadi konflik-konflik umum yang terjadi.

Selalu membawa banyak cerita, untuk tahun 2022 ini empat orang anggota pun nyaris syahid lantaran “jiwa enduro tapi motor combro (katro atau cupu)” memicu kami untuk berimprovisasi dengan pilihan jalur.

Rembuk akhir yang membuat Ujung Genting, Sukabumi menjadi pilihan destinasi, sebenarnya tidak terlalu spesial untuk saya sendiri. Namun, karena ada salah satu anggota yang benar-benar belum pernah ke ujung selatan Sukabumi ini, maka akhirnya saya dan dua orang lainnya pun kemon saja. Toh garis finis bukan esensi utama dari budaya LFTR.

Saya yang colong start dari Bogor, menunggu cukup lama tiga pelaku lainnya yakni Rizqi, Arifin I̶l̶h̶a̶m̶, dan Ihsan yang kumpul di Shell Pajajaran.

Petaka sudah dimulai sejak awal, di mana Arifin yang menunggangi Honda Astrea 3 silinder harus kehilangan kunci starter motornya. Alhasil jok pun tak bisa dibuka dan cukup sulit rasanya untuk petugas pom bisa mengisi bensin dengan jok motor bebek yang tertutup.

Mentok, panik, kering ide, akhirnya Rizqy, Arifin dan Insan memilih untuk terus maju mendekati titik tunggu saya di pintu masuk Chikit̶a̶ ̶M̶e̶i̶d̶y̶ Dunk. Sesampainya di Ciqidang pun saya sempatkan untuk menampar mereka satu persatu karena ngaret yang terjadi. Saat itu di Chiki Dunk sudah hampir pukul 8.

Melihat keringat bawah idung Arifin yang masih panik dengan bagaimana kemungkinan riding tanpa isi bensin, saya pun mencoba membuka baut dudukan jok motornya. Voila, selesai satu petaka.

Selang hampir satu jam, senda gurau dan bacot berkepanjangan di kedai bubur miskin rasa pun usai, akhirnya dengan formasi lengkap kami bertolak menuju Ujung Genting.

Curiga padatnya lalu lintas pasca lebaran pun terjawab di sepanjang jalur Chiquidang. Ragam kendaraan mulai dari losbak berpenumpang lesehan hingga keluarga-keluarga pra sejahtera bermotor bonceng lima pun memadati jalan alternatif ini.

Udara yang kala itu terasa cukup gerah dan lalu lintas yang mengundang lelah membuat kami tergoda untuk kembali rehat di titik-titik akhir Ciqidank. Senda gurau dan ragam cerita sepanjang jalan pun menguras waktu hingga satu jam.

Insan, Arivin, dan Rezeki tampak berbincang tentang peluang Tata Chubby (alm.) di 2024 jika masih hidup

Lewat 10 siang, perjalanan pun kami lanjutkan. Melewati jalur arah Ciletuh, kemacetan keras terjadi di simpang tiga Bagbagan. Panas terik bercampur gerah pun membuat saya membayangkan seperti apa rasanya berhelm tanpa visor Arifin.

Keringat bawah idung yang tak kunjung kering dari jalur masuk Cikidang pun sesekali terlihat dijilatnya. Dalam hati saya berasumsi “hmm pantes nih orang jarang minum, bisa recycle elektrolit sendiri”.

Iqhsan terlihat lebih kalem, walaupun Viar MT-09 setang lebarnya sesekali menahan laju selap-selipnya dalam lalu lintas yang brengsek di siang bolong itu.

Rezeki a.k.a Bang Black mungkin menjadi yang paling damai. Memilih untuk berkendara dengan matic Suzuki Harddrive, ia tampak begitu stabil hemat tenaga menghadapi macet lebaran itu.

Keparatnya lalu lintas akhirnya usai selepas simpang Loji, di mana kebanyakan kendaraan ternyata memang memilih masuk ke arah Ciletuh. Sedangkan jalur menuju Jampang Kulon pun lengang luar biasa.

Kelok yang serasa tak ada habisnya serta mulusnya aspal Cigaru tentu membuat Ihsan menggila. Kebut-kebutan a la MotoGP pun terjadi. Dengkul keluar, gas dipuntir, cepirit tipis akibat wobble-wobble kecil pun membuat celana lengket.

Arivin L̶a̶v̶i̶g̶n̶e̶ dan BlackBerry pun sesekali menghilang dari spion. Mereka berdua memang sudah paham akan seperti apa riding dengan saya dan Insan.

Pendek cerita, akhirnya kami pun tiba di pertigaan Kiara Dua sekitar pukul 12 siang. Panas, haus, lapar akhirnya sepakat kita rehat untuk makan siang. Banyak pilihan kuliner di pertigaan ini, namun untuk keamanan rasa pilihan tetap jatuh pada masakan Padang.

Toko Adi Jaya yang mendadak jadi warung nasi Padang

Dalam keadaan normal, warung nasi Padang yang terlihat dikelola dadakan ini mungkin rasanya seperti pernikahan di tahun ke-42, hambar dan mulai jarang senggama. Namun, karena memang energi kami banyak terkuras, rasanya pun lezat-lezat saja.

Melepas lapar di warung nasi Padang powered by Toko Adi Jaya

Perut kenyang terisi, Bang Black Obama pun teringat dengan salah satu koleganya yang ternyata sedang mudik dan rumahnya di sekitar Jampang Kulon. Ia pun mengabari sang sobat, dan benar saja sobatnya sedang di Jampang Kulon.

Kami sepakat untuk mampir di rumah sang sobat menjamak salat zuhur dan asar. Brrmmm…kami pun meninggalkan warung nasi padang dadakan.

Tak sampai setengah jam dari pertigaan Kiara Dua, kami pun tiba di rumah sobat Bang Blackpink yang belakangan diketahui bernama kang Arief. Ramah tamah dan kami pun dipersilakan untuk beristirahat yang di mana belum lama juga kami habis rest di Kiara Dua.

Saat itu waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 1 lewat. Irvan, Arivin, dan Bang Black or White pun bertolak ke masjid untuk menjamak salat. Saya yang merupakan satu-satunya sufi di rombongan pun sudah beribadah dalam pikiran.

Selesai salat kami berempat pun berbincang sembari selonjor kaki di rumah kang Arief. Tak lama berbagi cerita perlahan tapi pasti camilan dan minuman diantarkan keluarga kang Arief ke hadapan muka. Ah, keramahan khas sobat lama memang tiada duanya.

Bincang semakin larut dengan tema-tema homoseksual dan saminisme. Kami terkejut karena tetiba berbagai lauk pauk dan se-rice cooker nasi dipersembahkan ke depan muka. Ini semua benar-benar di luar ekspektasi.

Lambung yang masih lelah mengolah daun singkong anyep di warung nasi padang Toko Adi Jaya pun harus menghadapi kuliner lainnya. Kaget, panik, sungkan, gembira kami pun saling tatap.

Akan sangat kasar menolak jamuan di belahan bumi manapun, berpatokan pada prinsip tersebut, dengan sigap saya menjadi yang pertama meraih centong dan menggaruk nasi dari rice cooker.

Makanan kali ini berbeda, semur daging, sambal kentang, semur ayam, sambal sunda, lalapan segar tentu menjadi pengalaman indah setelah lambung trauma dengan kuliner Kiara Dua. Benar saja, masakan keluarga kang Arief dibuat sepenuh hati, lezat.

Hampir dua jam dijamu, kami pun sadar masih harus melanjutkan perjalanan. Pamit pada kang Arief, kami tak pernah tahu kalau rententan petaka segera dimulai.

Kembali turun ke aspal mungkin sekitar pukul 3 sore (di titik ini kami sudah meludahi siapapun yang bertanya “eh jam berapa sih?” karena memang jelas trip sudah molor banyak). Awalnya jalanan menuju Surade baik-baik saja, namun jelang beberapa persimpangan atau titik ramai seperti pasar memicu kemacetan yang tidak biasa.

Hari yang panas tentu memiliki sore yang gerahnya k̶e̶k̶ ̶t̶a̶i̶ ̶a̶n̶j̶i̶n̶g̶ tak biasa pula. Macet-macet simpang atau mobil yang malu-malu keluar Alfamart tentu menjadi penguat rasa wasir yang sudah mulai terjadi akibat panjangnya trip.

Beberapa kali saya hampir pingsan karena melihat bagaimana ramainya Lebaran setelah terbungkam pandemi dua tahun.

Semua orang keluar ke jalan raya seakan hari itu adalah Hari Buruh Internasional. Warga lokal, pemudik, wisatawan salah destinasi, kang susu murni Nasional, hingga blangbir pun tampak semua tertarik untuk menuju Ujung Genting.

Pelipis berkedut, rahang menegang, kancut mengkerut saya membayangkan seperti apa ramainya Ujung Genting nanti.

Satu yang cukup mengganggu adalah kesepakatan kami untuk on the spot home stay hunting yang membuat pikiran liar menggila, entah apa yang ada di benak Irvan, Arifin, dan Razki. Akankah kami terbaring lunglai tanpa sehelai benangpun di pinggir pantai malam ini?

Pendek cerita, ragam macet pun terlalui. Kami tiba di Ujung Genting yang tentu sesuai perkiraan, CROWDED.

Melihat kepadatan b̶u̶a̶h̶ ̶d̶a̶d̶a̶ ̶t̶a̶t̶a̶ ̶d̶a̶d̶o̶ ̶(̶a̶l̶m̶.̶) Ujung Genting, kami pun berembuk sesaat menentukan bagaimana proses pencarian home stay. Sepakat di range budget Rp600k per malam, kami pun kesulitan mencari home stay yang masih available.

Sebuah pelajaran, reservasi-lah penginapan jauh-jauh hari. Jangan banyak gaya sok adventure.

Setelah cukup lama kami berluntang-lantung ke sana ke mari akhirnya kami berhasil menemukan sebuah rumah singgah ala kadarnya yang disewakan Pak Saya Lupa Namanya.

Tepat di depan Pantai Cibuaya, kami pun bisa semalaman berada di pusat keramaian Ujung Genting dengan harga Rp400k per malam. Nominal yang bahkan masih jauh lebih murah daripada budget yang kami siapkan.

Rumah Pak Saya Lupa Namanya (yang dihiasi neon kuning) dengan kipas angin Beyblade

Menempa diri dengan berjam-jam perjalanan dari Jakarta, Bang Blvck, Irsan Pringles, dan Arief-in-between pun tampak lega menikmati sisa hari di teras rumah singgah.

Tak ada sunset…sampo, sabun, dan pasta gigi di kamar mandi berlampu disko terasa jauh lebih menarik sore itu.

Selesai bebersihan, kami berempat mulai merasa lapar. Setelah sisa lauk pauk dari rumah kang Arief menguap, sempat terbesit untuk mencari kuliner khas Ujung Genting, namun sayangnya tak ada yang menarik.

Tanpa banyak pusing, Ihsan yang ternyata membawa kompor kamping pun membuat solusi masak Indomie menjadi terasa realistis. Jauh-jauh ke ujung Sukabumi hanya untuk masak Indomie, l̶u̶a̶s̶ ̶b̶i̶a̶r̶a̶ luar biasa.

Malam di Ujung Genting ditutup dengan jalan-jalan ke Indomaret mencari jajanan. Lelah perjalanan menuju Ujung Genting ini jelas benar menguras tenaga, saya bahkan terlelap di tengah perawatan kulit, sedangkan Arivin sudah terlelap sejak Maghrib dengan rambut lepeqnya.

Tidak semua biker cuek dengan jerawat dan daqi

Hari ke-2

Terbangun di pagi yang cukup cerah, kebingungan paling pertama adalah minimnya pilihan sarapan di Ujung Genting. Mirip seperti di malam hari, tak banyak juga kuliner yang bisa menarik hati di pagi hari.

Mas Black, Arivin, dan Insan yang sudah bangun lebih dulu hanya bisa mengganjal perut dengan kopi susu saset ala kadarnya. Saya, yang tak terlalu tertarik dengan budaya ngopi pagi pun beranjak mencari pangan di m̶e̶m̶e̶q̶u̶e̶ pesisir yang becek.

Dari jauh terlihat mba-mba menjual bubur dengan perawakan dan desain gerobak yang kurang meyakinkan. Saya pun tetap memilihnya untuk d̶i̶b̶u̶a̶h̶i̶ dijadikan sarapan.

Membanderol satu unit bubur ayam dengan harga 10 ribu rupiah, saya makin yakin dengan ketidakmenarikan buburnya saat dia menyajikan topping yang hanya kacang dan ayam (seuprit).

Kembali pada tiga sekawan (yang bahkan tak berubah posisi dari sejak saya pergi) mereka pun menyambut suka cita bubur miskin rasa. Walau lebih banyak kesel daripada enaknya, kami tetap menyatap bubur raskin ala Ujung Genting itu.

Selepas makan, kami menimbang-nimbang bagaimana pola wisata hari kedua ini. Dengan pilihan Pantai Pasir Putih dan Penangkaran Penyu, kami berharap bisa mengunjungi keduanya dengan manajemen waktu yang tepat.

Akhirnya kita memilih untuk ke pantai terlebih dahulu, lalu sepulangnya jika memang masih sempat kita akan mampir ke penangkaran penyu. Short story main ke pantainya bisa diliat di beberapa foto di bawah.

Pantai super bersih Pantai Pasir Putih Ujung Genting
Bang Blvck dan anaknya Insan bahagia abadikan momen keluarga
Pantai yang setimpal untuk ratusan km berkendara

Main air yang tidak sebentar, akhirnya menguras banyak waktu sehingga kami pun urung main ke penangkaran penyu. Kami pun bergegas kembali menuju home stay (yang di mana kami dijadwalkan check out tengah hari bolong) sekitar pukul 10.00 pagi.

Mandi, repacked ulang barang-barang, kami pun siap bertolak dari home stay benar-benar jelang tengah hari, bahkan sebelum adan duhur berkumandang.

Tawa jelang derita pulang lewat Cikadal

Di perjalanan pulang ini memang kami sudah merencanakan untuk mencoba jalur lainnya. Pasalnya, sepanjang hari keberangkatan kemarin banyak sekali kendala kemacetan yang kami alami di jalur Surade dan sekitarnya.

Kesepakatan pun kami arahkan melalui Geopark Ciletuh. Memang ada sedikit bayangan tentang kemungkinan sulitnya jalur yang akan kami lalui, lantaran dengan jarak yang jauh lebih pendek, waktu tempuhnya hampir mirip dengan jalur normal Surade yang secara km jauh lebih panjang.

Sebelum memasuki jalur Cikadal-Palangpang ini pun kami sudah setuju untuk menghadapi seperti apapun baik buruknya jalur tersebut dengan senyuman. Bismillah.

Jangan main-main dengan jalur ini ya ganteng

Masuk ke jalur alternatif ini pun kami menguatkan hati masing-masing. Jalur yang didominasi bebatuan kali yang sudah dipecah pun terasa sukar untuk semuanya, terkhusus untuk i-Pin dan Bang Kcalb. Ipin yang mengendarai Astrea modif ekstrem dan Bang Hitam yang menggunakan Skydrive badaknya pun harus lebih hati-hati dalam memilih jalur.

Tak hanya sulit, di bayangan saya sendiri pun ada ketakutan ̶p̶a̶n̶t̶a̶t̶ ban salah satu dari kami sobek lantaran jalur batu yang terasa cukup tajam. Ngalhamdulillah hal itu tidak terjadi.

Arivin tak gentar dengan jalur derita Cikadal

Di jalur ini kami berempat menikmati panas terik dengan suguhan jalur full off road, yang silih berganti warga lokal menunjukkan kepiawaian-nya dalam berkendara. Ada kang cilor yang full speed satu tangan dengan motor bebek shock panjang, atau sekedar penduduk yang dengan matik standaran bisa berkendara dengan lincah.

Sesekali miris melihat beberapa warga Indonesia di area-area yang tak terlalu jauh dari Ibu Kota justru hidup dengan infrastruktur l̶o̶n̶t̶e̶ buruk, namun di sisi lain, mereka nampak biasa saja dan memilih untuk beradaptasi.

infrastruktur l̶o̶n̶t̶e̶ buruk di jalur tak populer Ujung Genteng
Ban lebar serasa anak SD di hadapan warga lokal bermoped
Menyesal tiada guna, cukup dinikmati saja

Di jalur penuh derita ini pun kami dicoba oleh Tuhan YME, mulai dari rem belakang Ust. Arivin yang perlahan terkikis, bushing karet box Bang Blackberry yang terlepas, hingga paranoid Ihsan Taroreh pada rantainya yang mulai kendor dan berpotensi keluar jalur.

Sedang saya sendiri hanya bergumul dengan kelelahan yang berpotensi ngantuk atau cranky jelang lapar.

Tapi ngalhamdulillah, semua nestapa di jalur Cikadal bisa kami lalui dengan baik tanpa trouble serius. Walaupun beberapa kali Arivin harus turun naik motor mengimbangi daya mesin dan rem dalam melahap tanjakan curam serta turunan tajam.

Sebagai catatan, kita semua memiliki kesulitan masing-masing dalam m̶e̶n̶y̶e̶t̶u̶b̶u̶h̶i ̶menikmati jalur Cikadal ini, namun saya memperhatikan Arivin begitu praktikal tanpa banyak mengeluh. Salut untuk Ustaz yang satu ini.

Sempat beristirahat panjang di sebuah warung pop ice warga, saya pun terlelap tanpa sadar, sedangkan Bang Kcalb menggali berbagai informasi tentang seberapa jauh lagi kami bisa meraih Ciletuh. Di momen ini pun ibu pemilik warung heran kenapa kami memilih lewat Cikadal untuk menuju Ciletuh. Kami pun heran kenapa kami di sini.

Lepas dari peristirahatan t̶e̶r̶a̶k̶h̶i̶r̶ warung pop ice, kami pun akhirnya tiba di jalur Palangpang menuju Ciletuh. Kami tak pernah sebegitu bahagianya bertemu dengan a̶r̶e̶o̶l̶a̶ aspal halus.

Kami tiba di jalur Palangpang hampir setengah 3, di mana kami pun menyempatkan untuk makan siang di Puncak Darma. Semua lelah kami limpahkan pada nasi lauk ayam goreng. Mengisi perut setidaknya menjadi bantuan moral yang besar, mengingat perjalanan kami menuju Jakarta masih cukup panjang.

Beruntung menjelang sore kami sempat bertemu hampir sunset di jalur Loji Ciletuh. Kami pun sisihkan s̶p̶e̶r̶m̶a̶ waktu untuk untuk menikmatinya.

Menikmati hampir sunset di jalur Loji, Ciletuh
Kami suka dengan sandal jepit Arivin yang senada dengan hand grip, body, dan jaring motornya
Bang Kcalb menjadi sumber segala dokumentasi visual sepanjang jalan

Menikmati twist jalanan Loji Ciletuh yang halus pada sore hari menjadi momen-momen menyegarkan. Sayang menjelang gelap hujan pun turun sehingga mengembalikan suasana ngasu ke dalam perjalanan.

Di perjalanan pulang ini pun kami memilih untuk tidak melalui Cikidang, dan beralih pada jalur menuju Cibadak. Entah apa yang ada di pikiran kami, di mana k̶e̶t̶u̶p̶a̶t̶ kemacetan khas Lebaran yang sudah di depan mata tak menyurutkan niat kami untuk mengambil jalur memutar.

Macet panjang sering mendorong “jiwa lupa teman” banyak pengendara. Tak terkecuali di hari ini. Mulai dari sekitar jam 7 malam, kami pun tercerai berai di hampir sebagian besar jalan menuju Cibadak.

Macet 19 km itu hanyalah sebuah antrean menuju satu pom bensin di jalur menuju Cibadak

Dalam momen tercerai-berai ini, Arivin pun motornya harus kehabisan bensin tanpa sempat bertemu l̶a̶b̶i̶a̶ pom bensin. Beruntung Insan membelikan dua liter bensin dalam kantong plastik es. Sebuah pengalaman yang akhirnya membuat kami memasukkan selang aquarium sebagai tools tetap di riding-riding mendatang.

Di manakah saya saat itu, jauh di depan menikmati setangkup kebab daging f̶r̶e̶n̶u̶l̶u̶m̶ sapi di sebuah Indomaret. Itulah saya, sebelum assessing situasi dengan membuka WhatsApp, saya selalu mendahulukan makan sebagai tambahan energi.

Beruntung ketika saya membuka WhatsApp semua kendala bensin habis Arivin sudah tertangani Insan dan Bang Blvck.

Setelah Arivin, Pringles, dan Bang Blackcurrant tiba, kami pun sempatkan berkeluh kesah dengan kesulitan-kesulitan macet Lebaran Cibadak. Dari sini perjalanan menuju Bogor dan Jakarta pun tak tergulung kendala berarti dan kami sampai rumah masing-masing dengan selamat.

Ada rasa menyesal? Banyak, namun kami tahu, kami akan mengulangnya suatu hari nanti.

--

--

Rendi Widodo

Mesin bicara yang berharap manusia mulai berhenti berkembang biak